PAHLAWAN PERGERAKAN NASIONAL WANITA DI INDONESIA
- Maria Walanda Maramis
Maria Josephine Catherine Maramis atau yang lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis, merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia karena usahanya untuk mengembangkan keadaan wanita di Indonesia pada permulaan abad ke-20
Nicholas Graafland, dalam sebuah penerbitan “Nederlandsche Zendeling Genootschap” tahun 1981, Maria ditahbiskan sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki “bakat istimewa untuk menangkap mengenai apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki”
- Laksamana Malahayati
Malahayati tercatat dalam sejarah sukses menghalau Portugis dan Belanda masuk ke Aceh, sesuai catatan seorang wanita Belanda, Marie Van Zuchtelen, dalam bukunya berjudul “Vrouwlijke Admiral Malahayati” (Malahayati- Sang Admiral Wanita).
Pahlawan wanita bernama Keumlahayati atau Malahayati mendapat kepercayaan menjadi orang nomor satu dalam memimpin pasukan militer dari kesultanan Aceh. Malahayati akrab dengan dunia angkatan laut, karena tidak terlepas dari didikan Sang Ayah yang juga seorang Laksamana, bernama Mahmud Syah bin Laksamana Muhammad Said Syah. Dalam darah Malahyati juga mengalir kuat darah seorang kakek yang juga merupakan putra Sultan Salahuddin Syah dan pernah memimpin Aceh pada 1530-1539.
Sebagai pelaut dan pejuang wanita, Malahayati pernah memimpin 2000 orang yang terdiri dari para janda yang suaminya telah tewas sebagai pahlawan di medan laga (mereka dikenal dengan sebutan pasukan Inong Balee) untuk berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada tanggal 11 September 1599. Pada pertempuran tersebut, Malahayati berhasil membunuh Cornelis de Houtman dalam sebuah duel di atas geladak kapal. Oleh karena itulah, Malahayati memperoleh gelar laksamana pertama di dunia.
Tidak banyak catatan mengenai sejarah hidup Malahayati, namun terdapat sumber catatan dari seorang nahkoda kapal Belanda yang berkebangsaan Inggris, John Davis pernah mengungkapkan fakta bahwa pada masa kepemimpinan militer Laksamana Malahayati, Kesultanan Aceh memiliki perlengkapan armada laut. Malahayati digambarkan pula sebagai sosok yang tegas dan sigap mengkoodinir pasukannya di laut serta mengawasi berbagai pelabuhan yang berada di bawah penguasaan syahbandar, serta secara seksama mengawasi kapal-kapal jenis milik Kesultanan Aceh Darussalam. Namun sayang, suaminya gugur di palagan Selat Malaka ketika melawan Portugis. Setelah suaminya gugur, Malahayati memohon kepada Sultan al-Mukammil, raja Aceh yang berkuasa dari 1596-1604, untuk membentuk armada perang. Prajuritnya adalah para janda pejuang Aceh yang gugur dalam pertempuran di Selat Malaka itu, yang dinamai Laskar Inong Balee dengan anggota berjumlah 2000 orang prajurit.
Bertahap demi tahap, karir Malahayati mulai melesat, saat itu Kerajaan Aceh memang tengah meningkatkan keamanan karena gangguan Portugis. Usul membentuk armada dikabulkan, Malahayati diangkat jadi Panglima Armada Inong Balee atau Armada Perempuan Janda. Pasukan itu bermarkas di Teluk Lamreh Kraung Raya. Benteng Kuto Inong Balee dengan tinggi sekitar tiga meter dibangun. Lengkap dengan meriam.
Malahayati ternyata juga merupakan sosok negosiator ulung. Pada Agustus 1601, Malahayati memimpin Aceh untuk berunding dengan dua utusan Maurits van Oranjesent, Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de Roy. Mereka sepakat melakukan gencatan senjata. Belanda juga harus membayar 50 ribu gulden sebagai kompensasi penyerbuan yang dilakukan van Caerden. Sepak terjang Malahayati sampai juga ke telinga Ratu Elizabeth, penguasa Inggris. Sehingga negeri raksasa itu memilih cara damai saat hendak melintas Selat Malaka. Pada Juni 1602, Ratu Elizabeth memilih mengutus James Lancaster untuk mengirim surat kepada Sultan Aceh untuk membuka jalur pelayaran menuju Jawa.
Malahayati disebut masih memimpin pasukan Aceh menghadapi armada Portugis di bawah Alfonso de Castro yang menyerbu Kreung Raya Aceh pada Juni 1606. Sejumlah sumber sejarah menyebut Malahayati gugur dalam pertempuran melawan Portugis itu. Setelah wafat dalam pertempuran laut Teluk Krueng Raya Malahayati dimakamkan di lereng Bukit Kota Dalam, sebuah desa nelayan yang berjarak 34 kilometer dari Banda Aceh, tidak jauh dari Benteng Inong Balee,. Lokasi makam pada puncak bukit, merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap tokoh yang dimakamkan. Penempatan makam di puncak bukit kemungkinan dikaitkan dengan anggapan bahwa tempat yang tinggi itu suci.
3. Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien lahir pada tahun 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang. Beliau mendapatkan pendidikan agama dan rumah tangga yang baik dari kedua orang tua dan para guru agama.
Seperti umumnya di masa itu, beliau menikah di usia sangat muda dengan Teuku Ibrahim Lamnga. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Ketika Perang Aceh meletus tahun 1873, Teuku Ibrahim turut aktif di garis depan. Cut Nyak Dien selalu memberikan dukungan dan dorongan semangat.
Semangat juang dan perlawanan Cut Nyak Dien bertambah kuat saat Belanda membakar Masjid Besar Aceh. Dengan semangat menyala, beliau mengajak seluruh rakyat Aceh untuk terus berjuang. Saat Teuku Ibrahim gugur, di tengah kesedihan, beliau bertekad meneruskan perjuangan. Dua tahun setelah kematian suami pertamanya tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar. Seperti Teuku Ibrahim, Teuku Umar adalah pejuang kemerdekaan yang hebat.
Bersama Cut Nyak Dien, perlawanan yang dipimpin Teuku Umar bertambah hebat. Sebagai pemimpin yang cerdik, Teuku Umar pernah mengecoh Belanda dengan pura-pura bekerja sama pada tahun 1893, sebelum kemudian kembali memeranginya dengan membawa Iari senjata dan perlengkapan perang lain. Namun, dalam pertempuran di Meulaboh tanggal 11 Februari 1899 ,Teuku Umar gugur. Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Cut Nyak Dien mengatur serangan besar- besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Seluruh barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk biaya perang. Meski tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut. Perlawanan yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu, bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya.
Namun, kehidupan yang berat dihutan dan usia yang menua membuat kesehatan perempuan pemberani ini mulal menurun. Ditambah lagi, jumlah pasukannya terus berkurang akibat serangan Belanda. Meski demikian,ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah, beliau sangat marah. Akhirnya, Pang Laot Ali yang tak sampai hati melihat penderitaan Cut Nyak Dien terpaksa berkhianat. la melaporkan persembunyian Cut Nyak Dien dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.
Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien, bahkan ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap dalam kondisi rabun pun masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya. Beliau marah luar biasa kepada Pang LaotAli. Namun,walau pun di dalam tawanan, Cut Nyak Dien masih terus melakukan kontak dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga beliau akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, pada 11 Desember 1906 dan kemudian pada tanggal 6 November ia wafat.
3. Johana Masdani Tumbuan
Kelahiran Amurang, Sulawesi Utara, 29 November 1910 ini, waktu masih gadis bernama Johanna Tumbuan. Menurut buku Rosihan Anwar, Le Petite Histoire, Jo sapaan akrab Johanna, masih berusia 18 tahun, bersama Dolly Putri Haji Agus Salim, satu dari sedikit perempuan yang hadir dalam peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 di Gedung Kramat Raya, Jakarta. Mereka berdua juga ikut menyanyikan Indonesia Raya dalam ajang penting itu.
Keterlibatan perempuan yang gesit semasa hidupnya tersebut dalam dunia pergerakan berawal sejak usia 16 tahun. Ketika itu ia bergabung dalam Jong Minahasa, yang kemudian berubah jadi Jong Celebes. Lalu, aktif dalam Jong Indonesia, dan pada saatnya berubah menjadi Indonesia Muda. Jo Masdani juga giat dalam kegiatan organisasi Kepanduan Bangsa Indonesia.
Sebagai aktivis pemuda-pemudi menjelang kemerdekaan, Johanna banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh lain. Seperti Muhammad Yamin, Dr. Rusmali, Mr. Asaat, dan orang yang belakangan menjadi suaminya, Masdani, juga seorang tokoh pergerakan. Jo juga menjadi seorang saksi sejarah detik-detik Proklamasi Indonesia yang dilakukan Bung Karno dan Bung Hatta, 17 Agustus 1945.
Jo ikut serta menyusun konsep pembangunan Tugu Proklamasi yang sederhana di depan rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi) nomor 56, Jakarta. Tugu ini kemudian dibongkar oleh Bung Karno, namun dibangun kembali pada 1980-an.
Dalam Perang Kemerdekaan Jo ikut suaminya menyelundupkan beras untuk penduduk dari Karawang, Cikampek. Ia juga menyelundupkan senjata yang diperoleh dari Jakarta untuk pejuang di daerah pedalaman hingga Yogyakarta.
Jo pernah menjadi guru di Perguruan Rakyat di Gang Kenari, Jakarta, saat bantuan dari orangtuanya di kampung halaman terhenti. Ia aktivis Palang Merah Indonesia dan menjadi pembimbing Pandu Rakyat Indonesia. Di alam kemerdekaan, Jo menjadi mahasiswa psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Sang Suami yang menyuruhnya, setelah ia lulus dari Paedagogische Algemene Middlebare School.
Johanna termasuk di antara 71 pemuda yang hadir dalam Kongres Pemuda Kedua, Oktober 1928 dan turut serta mengikrarkan Sumpah Pemuda yang berlangsung di sebuah gedung yang terletak di Jalan Kramat Raya no. 106 Jakarta Pusat.
Selain itu, Jo — demikian ia biasa dipanggil — juga menjadi seorang saksi sejarah detik-detik Proklamasi Indonesia yang dilakukan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945. Ia juga ikut serta menyusun konsep pembangunan Tugu Proklamasi yang sederhana di depan rumah Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur (kini Jl. Proklamasi) no. 56, Jakarta. Tugu ini kemudian dibongkar oleh Bung Karno, namun dibangun kembali pada tahun 1980-an.
[sunting]Perjuangan
Jo juga pernah menjadi guru di Perguruan Rakyat di Gang Kenari, Jakarta, saat bantuan dari orangtuanya di kampung halaman terhenti. Ia juga aktif dalam Palang Merah Indonesia, menjadi pembimbing Pandu Rakyat Indonesia, serta menjadi aktivis sosial Pemuda Puteri Indonesia.
Dalam catatannya pada tahun 1945 hingga 1949, Jo pernah menulis, “Roda revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa wanita. Demi kemerdekaan sampai titik darah penghabisan Merdeka atau Mati, tanpa pamrih membela bangsa dan negara tanah air Indonesia tercinta.”
Di alam kemerdekaan, Jo menjadi mahasiswa psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Setelah lulus dari alma maternya, Jo mengabdikan diri sebagai dosen psikiatri sejak 1961. Pada tahun 1970-an, ia sempat pula mengambil pendidikan lanjutan di Amerika Serikat dan Inggris.
Hampir sama seperti suaminya, Jo banyak mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Pada 1953 ia memperoleh medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia dari Menteri Pertahanan Keamanan Ali Sastroamidjojo. Pada 1958 ia mendapat Bintang Satya Gerilya dari Presiden Soekarno. Pada tahun 1967 semasa Presiden Soeharto, ia mendapat Bintang Satya Lencana Penegak. Ia dianugerahi Bintang Mahaputera Utama pada tahun 1998 dari Presiden B.J. Habibie. Secara keseluruhan, Jo mendapat delapan bintang dari Pemerintah RI.
- Nyi Ageng Serang
Terlahir dengan nama asli Raden Ajeng (RA) Kustiyah Wulaningsih Retno Edhi. Nyi Ageng Serang merupakan putri dari Pangeran Natapraja, seorang penguasa daerah Serang, Jawa Tengah yang juga merupakan Panglima Perang Sultan Hamengkeu Buwono I.
Nyi Ageng juga merupakan salah satu keturunan dari Sunan Kalijaga. Selain itu, ia juga mempunyai seorang cucu yang kelak akan menjadi seorang pahlawan, yakni R.M. Soewardi Surjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara.
Ketika Perang Diponegoro meletus pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang bersama pasukan yang setia terhadap ayahnya ikut berperang bersama Pangeran Diponegoro dan menantunya Raden Mas (R.M.) Pak –Pak. Karena usianya yang sudah sangat tua, 73 tahun, Nyi Ageng memimpin pasukannya dari atas tandu. Akhirnya, setelah tiga tahun ikut bertempur bersama Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang tidak kuat lagi melawan penjajah karena kekuatan fisiknya tidak memadai. Ia pun mundur dari peperangan dan pasukan yang ia pimpin diambil alih oleh Raden Mas Pak-Pak.
Pada tahun 1828, Nyi Ageng Serang menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 76 tahun. Ia meninggalkan Serang sebagai daerah merdeka. Atas jasa-jasanya terhadap negara, Nyi Ageng Serang kemudian dikukuhkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI No.084/TK/1974.
- Siti Manggopoh
Siti Manggopoh, merupakan perempuan Minang yang lahir pada bulan Mei 1880. Nama Manggopoh dilekatkan pada dirinya, karena ia terkenal berani maju dalam perang Manggopoh. Manggopoh itu sendiri merupakan nama negerinya.
Siti merupakan anak bungsu dari enam bersaudara. Kelima kakaknya dengan senang hati menyambut kelahiran Siti, karena Siti adalah anak perempuan pertama sekaligus terakhir yang dilahirkan dalam keluarga mereka. Kelima kakak laki-laki Siti pun selalu mengusung Siti ke mana-mana. Ia membawa Siti ke pasar, ke kedai, ke sawah, dan bahkan ke gelanggang persilatan.
Siti pun pernah bermain sangat jauh dari kenagarian Manggopoh, bahkan sampai ke daerah Tiku, Pariaman. Tak hanya itu, ketika kakaknya belajar mengaji ke surau, Siti juga diajak dan mengecap pendidikan di surau. Sebagai perempuan Minang, Siti memiliki kebebasan. Ia membangun dirinya secara fisik dan nonfisik. Ia belajar mengaji, bapasambahan dan juga persilatan. Inilah kiranya yang menyebabkan Siti berani maju ke medan perang untuk melawan penjajahan Belanda di negerinya.
Siti menikah dengan Rasyid. Pernikahan mereka ternyata tidak membuat Siti terikat dengan tugas perempuan di dalam rumah tangga. Justru bersama suaminya, Rasyid, Siti memiliki semangat dan arah perjuangan yang setujuan. Mereka bahu membahu melepaskan penderitaan rakyat Minangkabau. Kesadaran ini muncul ketika Siti dan Rasyid merasakan bahwa telah terjadi penindasan di negerinya oleh pemerintahan Belanda.
Dari catatan yang ada, meski sebagai seorang tokoh pun, ternyata Siti pernah mengalami konflik batin ketika akan mengadakan penyerbuan ke benteng Belanda. Ia mengalami konflik ketika rasa keibuan terhadap anaknya yang sedang menyusu muncul, padahal di satu sisi, ia merasakan sebuah panggilan jiwa untuk melepaskan rakyat dari kezaliman Belanda. Namun, ia segera keluar dari sana dengan memenangkan panggilan jiwanya untuk membantu rakyat.
Siti Manggopoh memang membangun dirinya dengan kecerdasan sejak kecil. Hal inilah yang dimunculkannya ketika menyusun siasat yang diatur sedemikian rupa. Dia dan pasukannya berhasil menewaskan 53 orang serdadu penjaga benteng. Siti memanfaatkan naluri keperempuanannya secara cerdas untuk mencari informasi tentang kekuatan Belanda tanpa hanyut dibuai rayuan mereka.
Di markas belanda di manggopoh, sewaktu tentara belanda sedang mengadakan pesta judi dan mabuk mabukan masuklah seorang wanita cantik, yang sebenarnya adalah Siti, buruan pemberontak yang paling di cari tentara belanda. Siti lansung membaur dengan para tentara yang sedang mabuk itu.
Karena kelelahan dan teler karena minuman keras, akhirnya puluhan tentara belanda terkapar tak sadarkan diri, melihat peluang tersebut siti segera memberi isyarat kepada para pejuang yang sudah menunggu di luar untuk segera menyerang.
Para pejuang merebut markas belanda dan membantai puluhan tentara belanda teresebut, tercatat 53 orang tentara belanda tewas dan 2 orang berhasil melarikan diri dalam keadaan terluka parah ke lubuk basung.
Perebutan benteng yang dilakukan Siti menyulut Perang Manggopoh. Akhirnya Siti bersama sang suami, Rasyid Bagindo Magek, berhasil ditangkap dan dipenjarakan tentara Belanda. Tapi, lantaran mempunyai bayi, Siti terbebas dari hukuman pembuangan.
Siti Manggopoh meninggal di usia 85 tahun, pada 20 Agustus 1965 di Kampung Gasan Gadang, Kabupaten Agam.
- Dewi Sartika
R.A Dewi Sartika lahir di Bandung, 130 tahun yang lalu pada tanggal 4 Desember. Ayah dari gadis ini ialah Raden Somanagara, seorang pejuang kemerdekaan yang dihukum buang menuju pulau Ternate pada masa Hindia Belanda masih memerintah Indonesia, dimana ayahnya kemudian meninggal dunia di Ternate. Dewi Sartika lahir di keluarga priyayi Sunda dengan Nyi Raden Rajapermas sebagai ibunya, dan meskipun adat daerah pada waktu itu wanita tidak boleh bersekolah, kedua orangtuanya bersikeras untuk menyekolahkan gadis ini, terlebih di sekolah milik Belanda.
Setelah ayahnya tiada, pamannya yang merupakan patih Cicalengka mengambil Dewi Sartika untuk dirawat. Dari pamannya ini juga lah ia mendapatkan berbagai ilmu tentang kesundaan. Selain dari pawannya, ia mempelajari banyak hal tentang kebudayaan Barat dari seorang asisten residen Belanda
Ada menuliskan bahwa beliau menempuh sekolah dasar di Cicalengka. Bukti lain bahwa Dewi Sartika sudah berbakat dalam dunia pengajaran selain hobinya bermain peran menjadi guru adalah ketika ia menginjak umur 10 tahun, ia sudah ahli baca-tulis dan beberapa kata bahasa Belanda yang mampu ditunjukkan oleh anak-anak dari pembantu kepatihan. Yang membuat warga Cicalengka terkejut adalah pada masa itu hampir tidak ada anak-anak dari kalangan rakyat jelata yang mampu melakukan hal-hal tersebut, terlebih lagi fakta bahwa yang mengajari mereka adalah seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun.
Menginjak remaja, Dewi Sartika kembali pulang ke pangkuan ibundanya di Bandung. Jiwa dewasa yang berkembang di dalam dirinya semakin mendorong gadis ini untuk merealisasikan mimpi-mimpinya, yang juga diberikan dukungan penuh oleh pamannya yang punya keinginan yang sama. Meski begitu, kesamaan mimpi antara Dewi Sartika dengan pamannya tidak serta merta membuat hal ini menjadi lebih mudah bagi kedua orang tersebut karena di masa itu ada adat yang menjadi rantai pengekang wanita, yang membuat pamannya menjadi khawatir dan kesulitan.
Mimpi yang dimiliki Dewi Sartika perlahan menjadi kenyataan, dimulai pada tahun 1902 dimana ia membuka sebuah tempat pendidikan bagi para perempuan. Tempat yang dipilih oleh Dewi Sartika adalah sebuah runagan kecil yang terletak di bagian belakang rumah milik ibunya di Bandung. Yang menjadi materi pelajaran dari “sekolah” milik Dewi Sartika pada masa itu antara lain adalah memasak, menjahit, menulis, merenda, dan memasak. Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika akhirnya membuka sebuah Sakola Istri (Sekolah Perempuan) setelah sebelumnya berkonsultasi dengan Bupati R. A. Martenagara. Sekolah yang ia dirikan merupakan sekolah bagi perempuan yang pertama perdiri di Hindia-Belanda, dan memiliki tiga pengajar yaitu Dewi Sartika sendiri dan Ny. Poerwa serta Nyi. Oewid.
Dewi Sartika menikahi seorang pria yang memiliki nama Raden Kanduruan Agah Suriawinata pada tahun 1906, dimana pernikahan mereka berdua menghadihi seorang putra yang diberi nama R. Atot, nantinya akan menjadi ketua umum BIVB, cikal bakal Persib Bandung. Hal terbaik yang dirasakan oleh Dewi Sartika adalah ketika ia mengetahui bahwa suaminya memiliki mimpi dan visi yang sama dengan apa yang ia miliki selama bertahun-tahun, yaitu pendidikan layak bagi wanita dan orang-orang yang kurang mampu. Suaminya sendiri merupakan seorang guru di sekolah Karang Pamulang, sebuah sekolah yang melatih guru-guru.
Sejarah singkat R.A Dewi Sartika – biografi dan profil dari pahlawan nasional di bidang pendidika ini mulai memasuki halaman terakhir ketika Dewi Sartika menghembuskan napas terakhirnya di Tasikmalaya, dan dikebumikan dengan sebuah upacara sederhana di pemakaman Cigagadon. Sebelum berpulang kembali ke sisi sang pencipta, Dewi Sartika sudah menyaksikan buah hasil kerja kerasnya selama ini. Pada tahun 1912, ada 9 Sakola Istri yang berdiri, dan pada tahun 1920 kembali bertambah. Sebelum dinobatkan menjadi pahlawan nasional Indonesia, ternyata Dewi Sartika telah terlebih dahulu dianugerahi jasanya oleh pemerintah Hindia-Belanda karena kegigihannya memberi pengajaran yang layak bagi seluruh lapisan masyarakat